Gereja
sepanjang sejarahnya telah mempertahankan kemurnian iman dan kasih dengan rantai
apostolik yang didirikan oleh Kristus dan disertai oleh Roh Kudus. Gereja percaya dan melestarikan serta
mengajarkan iman kristen yang bersejarah, bebas dari kesalahan dan penyimpangan,
sejak zaman para Rasul. Kekristenan mula - mula percaya bahwa tidak ada dalam
tubuh Gereja yang ajaran-ajarannya yang bertentangan dengan kebenaran atau yang
menghambat hubungan dengan Allah. Iman Kekristenan yang kuno dan tak lekang
oleh waktu yang sering mencirikan kekristenan timur adalah bentuk ekspresi dari
keinginannya untuk tetap setia kepada iman kristen yang murni. Kekristenan
Timur percaya bahwa Iman dan Gereja tidak bisa dipisahkan. Sangat mustahil
untuk mengenal kristus, dalam mengambil bagian dalam persekutuan dengan
Tritunggal Kudus, atau untuk dianggap sebagai orang kristen jika terpisah dari Gereja.
Di dalam Gereja iman selalu diikrarkan dan dipertahankan. Melalui Gereja iman
seseorang dipelihara.
Allah
adalah sumber iman dalam Gereja. ajaran yang ortodoks percaya bahwa Allah telah
menyatakan diri-Nya kepada kita, terutama dalam wahyu Yesus Kristus, yang kita
kenal sebagai Putra Allah. Wahyu Allah ini, kasih-Nya, dan tujuan-Nya, terus-menerus
dinyatakan dan kontemporer dalam kehidupan Gereja oleh kuasa Roh Kudus. Iman
ortodoks tidak dimulai dengan spekulasi agama umat manusia, ataupun dengan apa
yang disebut "bukti" tentang keberadaan Allah, juga dengan pencarian
manusia akan keberadaan Allah. Asal mula iman kristen ortodoks adalah dari penyingkapan
diri Allah. Dalam Tradisi Gereja Timur setiap hari, saat doa pagi Gereja selalu
menegaskan dan mengingatkan kita akan hal ini dengan menyatakan, “Allah adalah
Tuhan dan Dia telah menyatakan diri-Nya kepada kita.” Meskipun wujud Allah
tetap menjadi misteri dan tidak dapat didekati serta dimengerti, Tuhan telah
menyatakan diri-Nya kepada kita; dan Gereja telah mengalami Dia sebagai Bapa,
Putra, dan Roh Kudus. Doktrin Tritunggal Mahakudus, yang merupakan dasar dari
Iman Ortodoks, yang timbul dari pengalaman manusia dengan Allah. Dan datang
dari pengalaman hidup yang sejati dari orang-orang yang telah mengenal Allah
dengan iman.
Dalam
memahami konsep doktrin Tritunggal adalah satu hal; Untuk mengetahui realitas
hidup Allah yang adalah misteri, kita harus bekerja dan berdoa agar kita dapat
melewati setiap kata dan konsep tentang Allah dan untuk mengenal Dia, bagi diri
kita sendiri dalam persekutuan hidup kita dengan Dia ; “melalui Bapa, Putra dalam
penyertaan Roh Kudus”(Efesus 2 : 18 - 22). Dalam perjanjian lama kita menemukan
Tuhan Allah, menciptakan dunia dan seisinya melalui Firman-Nya dan atas kuasa Roh-nya
semua ini dapat tercipta. Dalam perjanjian baru "Firman itu telah menjadi
daging" (Yohanes 1:14). Yesus dari Nazaret, Putra tunggal Allah menjadi
manusia. Dan Roh Kudus, yang dalam Yesus menjadikan Dia Kristus, dicurahkan dari
Allah ke atas semua manusia (Kisah Para Rasul 2 : 17). Dalam catatan perjanjian
baru, dan kehidupan Gereja benar-benar tidak dapat dipahami secara akal manusia
dan tidak berarti juga tidak ditegaskan hubungan antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus
terhadap satu sama lain dan terhadap manusia dan dunia.
Dalam
sejarahnya Gereja menegaskan doktrin Tritunggal dalam konsili Nicea tahun 325 M
dan Konstantinopel tahun 381 M, yang tertuang dalam pengakuan Iman Nikea yang telah
diakui sejak saat itu, sebagai pernyataan resmi dari kepercayaan dasar iman
dasar Gereja Perdana. Kredo Nikea tersebut juga disebut sebagai “lambang iman”.
Uraian ini menunjukkan bahwa Kredo Nikea bukanlah pernyataan analitis, tetapi
itu menunjukkan pada realitas yang lebih besar dari dirinya sendiri dan yang
menjadi saksi-Nya. Selama beberapa generasi, kredo itu telah menjadi syarat
pengakuan iman yang sejati dan dasar pengetahuan tentang kekristenan. Kredo itu
diucapkan pada waktu pembaptisan dan pada setiap liturgi Ilahi, dan bunyi dari
pengakuan tersebut sebagai berikut :
PENGAKUAN
IMAN NIKEA
1. Aku
percaya kepada satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi dan
segala sesuatu yang kelihata dan maupun yang tak kelihatan.
2. Dan
pada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, yang diperanakkan dari Sang
Bapa sebelum segala zaman. Terang yang keluar dari Terang, Allah sejati yang
keluar dari Allah sejati, yang diperanakkan bukan diciptakan, satu hakekat
dengan Sang Bapa, yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan.
3. Yang
untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, telah turun dari sorga dan
menjelma oleh Sang Roh Kudus dan dari Sang Perawan Maria serta menjadi manusia.
4. Telah
disalibkan bagi keselamatan kita, dibawah pemerintahan Ponntius Pilatus. Dia
menderita sengsara dan dikuburkan.
5. Dan
telah bangkit pada hari yang ke tiga sesuai dengan Kitab Suci.
6. Dan
telah naik ke Sorga serta duduk di sebelah kanan Sang Bapa.
7. Serta
Dia akan datang lagi di dalam kemuliaan untuk menghakimi orang hidup maupun
orang mati yang kerajaanNya tak akan ada akhirnya.
8. Dan
aku percaya pada Sang Roh Kudus, Tuhan, Sang Pemberi-Hidup, yang keluar dari
Sang Bapa, yang bersama dengan Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan
dimuliakan, yang berbicara melalui para Nabi.
9. Aku
percaya pada Gereja yang Satu, Kudus, Katholik dan Apostolik.
10. Aku
mengakui satu Baptisan bagi penghapusan dosa – dosa.
11. Aku
menunggu akan kebangkitan orang – orang mati.
12. Serta
kehidupan zaman yang akan datang. Amin.
Kredo
tersebut sebagai tameng Gereja dalam menghadapi ajaran sesat yang kala itu
muncul dari dalam Gereja.
a.
MISTERI
TRITUNGGAL MAHA KUDUS
Dalam
upaya untuk merumuskan ajaran Gereja mengenai Tritunggal Kudus, harus diingat
bahwa Allah sebagai Tritunggal adalah suatu misteri bahkan, misteri mutlak yang tak terselami akal
karena Allah akan senantiasa demikian dan karena itu harus "didekati"
dengan kerendahan hati, hikmat dan ucapan syukur. Dengan kata lain, Allah,
dalam kodrat-nya, adalah tak terlukiskan dan tak dapat diungkapkan sehingga
tidak dapat diketahui kecuali Dia sendiri telah mengungkapkan diri-Nya kepada
dunia ini. Memang, misteri Tritunggal melampaui hati nurani manusia yang
terbatas dan serta mengungguli kesanggupan dan pengetahuan manusia yang
bersifat konseptual. Mengenai misteri tritunggal kudus pada abad keempat, St.Gregory
[Nazianzus] seroang Theologiawan (330-389/90 M) menuliskan: “Berbicara tentang allah adalah mustahil dan
mengenal dia bahkan lebih tidak mungkin.” Berabad-abad kemudian, St.Gregory
Palamas (1296-1359 AD) mengingatkan para pembacanya akan hal itu “Kodrat Allah yang super esensial bukanlah sebuah
subjek untuk dibicarakan atau dipikirkan atau bahkan direnungkan, karena itu
jauh dari segala yang ada dan lebih dari pada yang tidak dapat diketahui, tidak
dapat dipahami selama-lamanya.” Jelas, esensi dari keilahian Allah tidak
akan pernah diketahui oleh umat manusia, karena akan menjadi kontradiksi dalam
menjelaskanNya. Jika Allah dapat sepenuhnya dipahami oleh pikiran manusia yang
kreatif dan digambarkan oleh konsep-konsep yang kreatif, Dia akan berhenti
menjadi Allah. Bagaimanapun Allah adalah yang tersembunyi (Deus absconditus)
dan juga yang telah menyingkapkan diriNya (Deus revelatus) melalui wahyu-Nya
mulai dari yang biasa dan sampai yang luar biasa; Dia mengungkapkan diriNya
sendiri yang terlihat jelas dalam “inkarnasi Firman Allah” yang memberi dunia
kesempatan untuk mendengar Tuhan, untuk melihat dan bahkan menyentuhNya (1
Yohanes 1 : 1). St Basil Agung (330-379
M) menulis bahwa Tuhan mengungkapkan diri-Nya kepada umat manusia sejauh
manusia mampu menerima wahyu ini:
“Kita tahu kebesaran
Allah, kuasa-Nya, hikmat-Nya, kebaikan-Nya, pemeliharaan-Nya atas diri kita dan
betapa adil penghakiman-Nya; Tapi tidak esensinya…Kita mengenal Tuhan kita dari
tindakanNya, tetapi tidak bisa mendekati esensi-Nya. Pekerjaan-Nya turun kepada
kita, tetapi esensinya tetap berada di luar jangkauan kita.”
Oleh
karena itu Allah, pada saat yang sama tidak dapat dijangkau tetapi dapat
berkomunikasi dengan ciptaan. Allah tidak diketahui dan tidak dapat dijelaskan
tetapi pada saat yang sama kita tahu Dia adalah karena Dia telah menyatakan
diri-Nya sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Tritunggal adalah Allah yang
berpribadi Oleh karena itu, sebagai wahyu yang luar biasa tentang kehidupan
ilahi dan kasih yang kekal, manusia dapat, menikmati ucapan bahagia dan,
bersama dengan St Gregory sang teolog memberitakan pujian dan ucapan syukur,
dan dengan perasaan takjub akan Allah yang adalah 'satu dalam tiga dan tiga
dalam satu', merupakan pernyataan doksologika yang melampaui semua bentuk
ekspresi manusia: “Oh Engkau yang
melampaui segalanya! Apa lagi yang bisa dinyanyikan tentang Engkau?”.
b.
ALLAH
DALAM TRITUNGGAL
Berakar kuat dalam tulisan
suci, doktrin Tritunggal Kudus dirumuskan, dihidupi dan dipelihara dalam Gereja.
Meskipun fakta bahwa ajaran Gereja tentang misteri Tritunggal Kudus adalah
kebenaran yang diwahyukan secara Ilahi, Gereja perlu bertahun-tahun untuk
memperoleh perumusan teologis yang jelas. Kebutuhan akan istilah yang tepat
terutama muncul ketika Gereja harus mendefinisikannya dengan akurat, dengan
cara apa Allah Abraham, Ishak dan Yakub yaitu, Bapa Yang Mahakuasa dengan
hubunganNya terhadap Yesus Kristus yang mengaku sebagai satu – satunya Putra
Tunggal Allah, Firman dan GambarNya yang kekal dan kepada Roh Kudus yang
diidentifikasikan sebagai “Nafas” Allah Yang Maha Kuasa dalam perjanjian lama. Hal ini sangat penting karena
tulisan Kitab Suci jelas bahwa Allah Bapa tidak pernah sekalipun tanpa Firman
dan Roh-nya, karena keduanya kekal dengan Allah dan penting bagi keberadaan,
tindakan, dan kehidupanNya.
Dengan
demikian, Bapa, Putra dan Roh Kudus dipandang sebagai "Subjek"
pribadi yang berbeda, Bapa bukanlah Putra atau Roh, dan Putra bukanlah Bapa
atau Roh, juga Roh bukanlah Bapa atau Putra namun ketigaNya disembah dan
dimuliakan sebagai "Allah" dan "Tuhan". Konsekuensinya,
para bapa Gereja harus menunjukkan bahwa Bapa, Putra dan Roh Kudus, sepenuhnya
unik dan berbeda sehubungan dengan siapa Mereka, namun identik secara tak
terpisahkan dalam apa Dia benar-benar Ilahi. Setelah Perjanjian Lama dan Baru,
para Bapa Gereja terutama mereka yang berasal dari abad keempat, datang untuk
menyebut Tuhan bukan sebagai ἕν (satu) Yaitu, satu pribadi tapi sebagai ἕνωσις
(kesatuan). Sesungguhnya,
suatu kesatuan yang mutlak, tak terpatahkan dan berkesinambungan yang terdiri
dari tiga pribadi Ilahi. Mengenai “misteri yang luar biasa dan mempesona”
tentang kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan Tritunggal
Mahakudus, St Gregorius Sang Teolog (330-379/90 M) menulis dalam bahasa yang
agak abstrak dan misteri. , cara liturgis dan puitis:
“Tidak
lama setelah saya memahami kesatuan, Trinitas memandikan saya dalam kemuliaan
Nya, Dan ketika saya memikirkan Trinitas, sekali lagi kesatuan itu menangkap
saya dan mata saya dipenuhi, dan sebagian besar dari apa yang saya pikirkan
luput dari saya.”
Dalam menguraikan doktrin Tritunggal Mahakudus, Gereja
memulai dengan komuni tiga pribadi yang benar-benar "ada" Bapa, Putra
dan Roh Kudus dan bukan dengan konsep abstrak persatuan metafisika atau
transendental. Sekali lagi, St Gregory sang teolog menulis, "ketika aku menyebut Allah, yang aku maksud
adalah Bapa, Putra, dan Roh Kudus." Faktanya, Bapa - Bapa Gereja
perdana mengidentifikasi pribadi dengan hipotasis yaitu keberadaan nyata yang mengajarkan
bahwa ada tiga pribadi, atau hipotasis, adalah tiga cara keberadaan pribadi
yang benar-benar berbeda dan unik, yang, bagaimanapun, setara, kekal dan hidup,
berkuasa dan bekerja bersama dalam satu esensi Illahi yang sama. Jadi, Trinitas
disebut sebagai ke-Allahan trihipostatik dalam tradisi patristik dan liturgi,
di mana ada tiga pribadi berbeda, namun satu esensi, harmoni dalam persatuan
satu kehidupan, satu tindakan dan kehendak Ilahi, dan satu pemerintahan. Dengan
demikian, Satu Allah dalam tiga pribadi yang berbeda merupakan batu sandungan
bagi orang yang berpikir secara “rasional”, namun batu penjuru bagi
kekristenan. Dalam merenungkan
misteri Tritunggal Mahakudus, bahwa
ada tiga pribadi Ilahi yang berbeda dan sehakekat; artinya, ketiga pribadi Ilahi
itu benar-benar unik satu sama lain, sama sekali Berbeda namun satu Esensi, dan
masing-masing memiliki kepenuhan dalam keilahianNya. Jadi, menurut St Gregorius
sang Teolog, “Ketuhanan tidak terbagi
dalam pribadi-pribadi yang terpisah.” Keadaan tiap-tiap pribadi tidak bersifat moral atau psikologis, tetapi ontologis.
Dengan ungkapan "keberbedaan ontologis", dalam kaitannya dengan
Tritunggal Mahakudus, secara sederhana berarti bahwa ada tiga pribadi yang
nyata, konkrit dan mutlak berbeda [τρόποι ὑπάρξεως] dan
kehidupan dalam misteri Trinitas, dipahami sebagai satu-satunya Allah yang dapat
menampakkan diri-Nya kepada dunia dalam Bapa, Putra dan Roh Kudus di saat yang
bersamaan pada waktu Yesus dibaptis oleh St.Yohanes Pembabtis (Matius 3:13-17).
Dengan kata lain, Gereja tidak mengajarkan bahwa Allah kadang-kadang muncul
dalam rupa Bapa, kemudian sebagai Putra dan di lain waktu sebagai Roh.
Sebaliknya, Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah tiga pribadi yang berbeda, namun satu
esensi/hakekat dan merupakan Allah yang sama. Jadi, pengalaman akan Allah dengan cara ini, Gereja
mula-mula berbicara tentang doktrin Tritunggal Mahakudus dalam istilah
"tiga pribadi dalam satu esensi". Dalam suratnya kepada saudaranya St.Gregorius dari Nyssa, St.Basil
berusaha menunjukkan bahwa esensi tersebut merujuk apa yang di dalam Ketuhanan,
dengan cara ini menandakan Allah adalah kesatuan yang tak terpisahkan dalam
keberadaan, kekuatan, dan pekerjaan Ilahi. Dalam menggunakan contoh manusia sebagai ciptaan, ia mampu menunjukkan
bahwa sama seperti pria dan wanita pada dasarnya sama dalam berbagi kodrat kemanusiaan
yang sama, demikian pula pribadi Ilahi, Bapa, Putra dan Roh Kudus secara
substansial sama – yaitu, Ilahi. Secara khusus, dia menulis :
“Misalnya, paulus, Silvanus dan timotius
menetapkan bahwa dua atau lebih dasar yang membentuk manusia; Tidak seorang pun
akan memberikan satu definisi tentang inti atau substansi dalam kasus paulus,
yang kedua dari Silvanus, dan yang ketiga dari timotius; Tetapi, kata - kata
yang sama yang telah digunakan dalam menguraikan inti atau hakikat paulus akan
berlaku juga atas orang - orang lain …”
Kutipan ini jelas dan hanya menjelaskan bahwa, dalam
kasus kemanusiaan, meskipun mungkin ada tak terhitung jumlah manusia, masih ada
satu kemanusiaan, karena semua berbagi dalam sifat-sifat dan karakteristik umum
[seperti, nalar, pikiran, kehendak, penilaian, imajinasi, memori, dan lain -
lain] yang mendefinisikan kemanusiaan pada umumnya. Jika analogi ini dipakai
untuk mendeskripsikan Allah, maka dapat dikatakan di dalam Allah esensi mengacu
pada semua sifat umum dan tak terlukiskan itu, yang dimiliki oleh Bapa, Putra
dan Roh Kudus secara sehakekat dan identik. Akan tetapi, tidak seperti manusia,
yang mempertahankan kehendak dan energi mereka yang berbeda, bertindak secara
terpisah dan bukan atas inisiatif mereka sendiri, dalam Pribadi Allah tidak ada
keterpisahan seperti itu. Sebaliknya, satu hakekat yang sempurna dalam Keilahian.
Oleh karena itu, satu pada intinya dalam Bapa, Putra dan Roh Kudus menyatakan
pribadi yang berbeda namun satu, unik dan tak terpisahkan. Dalam doktrin
Tritunggal pada intinya Gereja menegaskan, Posisi Bapa adalah sebagai sumber
dari segala sesuatu, Ia ada bersama – sama dengan FirmanNya yang diperanakkan
sejak kekekalan, sehingga segala sesuatu dijadikan oleh Sang Firman, dan
segalanya juga tercipta oleh karena kuasa dari Sang Roh Kudus. Firman yang
telah ada bersama – sama dengan Sang Bapa, turun ke dunia atas kehendak Sang
Bapa, dan oleh karena Sang Roh Allah Ia dikandung oleh Sang Dara Maria (Θεοτόκος),
sangat jelas ketigaNya berbeda namun satu hakekat dan hadir bersama – sama
dalam sepanjang sejarah manusia, tak terbagi dan tak terpisahkan.
c. LAHIRNYA
DOKTRIN MODALISME (ONENESS) DALAM SEJARAH KEKRISTENAN
Dalam agama Kristen, Sabellianisme adalah bidat Gereja
Barat yang setara dengan Patripassianisme di Gereja Timur, yang keduanya
merupakan bentuk modalisme teologis. Sabellianisme percaya bahwa Allah Bapa,
Putra dan Roh Kudus adalah tiga sifat aspek yang berbeda dari Allah yang satu,
sebagai lawan dari dokrin Trinitas Gereja yang mengajarkan Allah mempunyai tiga
hipotasis yang berbeda namun satu dalam Esensi Illahi/HakekatNya sebagai Allah.
istilah 'sabellianisme' berasal dari Sabellius, yang adalah seorang teolog dan
imam dari abad ke-3 masehi. Tulisannya tidak ada yang selamat sehingga semua
yang diketahui tentang ajarannya berasal dari lawan-lawannya. Semua bukti menunjukkan
bahwa Sabellius menganggap Yesus sebagai dewa seraya menyangkal kemajemukan
pribadi dalam hakikat Allah dan menganut kepercayaan yang serupa dengan
modalistik monarkianisme. Paham modalisme secara umum telah muncul selama abad
ke-2 dan ke-3, dan dianggap sebagai bidat oleh Gereja yang berpaham Trinitas
sesuai Kredo Nikea. Sabellius berkata: "Yang sama seperti Bapa, yang sama
seperti Putra, yang sama seperti Roh Kudus. Mereka adalah tiga nama, tetapi nama
untuk realitas yang sama. Apakah kita memiliki satu atau tiga Allah?” (artinya, sabellius percaya bahwa kita hanya
memiliki satu Tuhan, dalam Monarki Ilahi).
Sabellius menganut doktrin monotheisme ketat. Ia
berpendapat bahwa Tuhan Allah adalah "Esa". Ia menekankan keesaan
Ketuhanan sejauh menyangkal perbedaan yang berarti antara anggota Tritunggal.
Esa dalam pengertian Allah Bapa adalah Putra (Yesus) yang adalah Roh Kudus.
Jadi tidak heran kalau Sabellius mengklaim bahwa ketiga nama itu semuanya milik
satu pribadi Ilahi, yang hanya memanifestasikan diri-Nya pada waktu yang
berbeda sebagai karakter yang berbeda. Jadi tidak heran kalau ia menolak konsep
Tritunggal yang berkaitan dengan natur Allah. Ia berpendapat bahwa Trinitas
bukan berkaitan dengan natur Allah, tetapi hanya cara Allah dalam menyatakan
diriNya. Itu sebabnya ia
menyakini bahwa Allah Bapa menyatakan diri-Nya dalam Perjanjian Lama melalui
pemberian Hukum Taurat, lalu menyatakan diriNya dalam wujud Putra (Yesus
Kristus) dan yang terakhir Ia menampakkan diri dalam wujud Roh Kudus. Tidak
heran bila Sabelius mengangap Allah Bapa, Yesus, dan Roh Kudus hanyalah tiga
aspek atau manifestasi atau peran dari satu ilahi yang sama. Di masa ini,
ajaran ini bangkit kembali dan disebut sebagai “Pentakolstalisme
Keesaan-Oneness Pentecost”. Sabelianisme jelas sangat bertentangan dengan
ajaran resmi Gereja, baik pada masa lalu mau pun sekarang.
Ajaran ini berlawanan dengan kebenaran Alkitab dimana
Tritunggal adalah Allah dalam satu esensi dan memiliki tiga pribadi atau
hipostasi. Formula ini merupakan suatu hal yang misteri dan paradoks tetapi
tidak bertentangan. Keesaan
Allah dinyatakan sebagai esensi-Nya atau keberadaan-Nya, sedangkan
keberagamannya diekspresikan dalam tiga pribadi. Istilah Tritunggal sebenarnya
tidak ada di dalam Alkitab, baik di Perjanjian Lama mau pun Perjanjian Baru.
Konsep ini bukan hasil kesimpulan, atau penemuan yang dihasilkan oleh kemampuan
rasional manusia namun, oleh karena penyertaan Roh Kudus saat Gereja menghadapi
bidat-bidat yang muncul dalam diri Gereja. Doktrin ini nyata adanya dan
diajarkan di dalam Alkitab. Hal ini terlihat di Ulangan 6:4 yang menyatakan
bahwa Allah itu esa. Di sisi lain, Alkitab pun menyatakan dengan tegas
keilahian tiga Pribadi dari Allah: Allah Bapa, Firman Allah (Kristus), Roh
Kudus Allah. Allah Bapa, Firman/Putra Allah (Kristus) mau pun Roh Kudus Allah
adalah tiga pribadi yang berbeda, yang masing-masing pribadi berada dalam
Hakekat yang sama dalam Diri Allah. Satu pun tidak ada yang lebih rendah dari
yang lain.
Bapa tidak lebih tinggi dari Putra dan Roh Kudus, ataupun
Putra lebih tinggi dari Roh Kudus dan Bapa, maupun sebaliknya, ketigaNya adalah
sehakikat dan tak terpisahkan dan hubungan ketigaNya adalah “kasih”. Allah
adalah kasih, oleh karena Ia adalah kasih itu sendiri, Bapa mengasihi Putra-Nya
dan juga Roh-Nya, serta Putra mengasihi Bapa dan juga Roh-Nya, dan Roh
mengasihi Bapa dan juga Putra-Nya. ketigaNya saling mengasihi, karena hubungan
inilah Ia adalah sumber Kasih (1 Yohanes 4:7-21). Dalam ayat tersebut
dijelaskan bahwa karena kasihNya, Ia mengutus PutraNya, sebagai perantara
antara Allah yang secara EsensiNya tidak dapat dilihat oleh manusia, melalui
PutraNya kita mengenal Allah yang tak terjangkau dan Tak Nampak, dan Ia
mengaruniakan RohNya supaya kita ikut ambil dalam kehidupan misteri Ilahi. Selain
itu Alkitab baik Perjanjian Baru mau pun Perjanjian Lama menyatakan bahwa
ketiga Pribadi dalam Tritunggal itu telah ada, sebelum segala abad dan
bersama-sama hadir dalam segala abad, dan satu hakekat sebagaimana yang telah
tertuang dalam pengakuan iman nicea.
Gereja Timur memiliki pemahaman bahwa Allah, bukanlah
merupakan suatu substansi yang dapat dipahami karena Allah tidak memiliki awal
dan akhir, dan Ia kekal abadi. Allah Bapa adalah asal dan sumber dari segala
sesuatu yang dariNya Firman itu dilahirkan dan oleh kuasa sang Roh semuanya itu
menjadi ada, dan ketiganya tidak diciptakan. Melalui pekerjaan Roh Kudus
manusia (disebut theosis), dapat menjadi baik (seperti Tuhan), tidak menjadi
tidak diciptakan, tetapi manusia mengambil bagian dari kodrat ilahi-Nya (2
Petrus 1:4).
Oneness Pentakostalisme percaya bahwa Yesus adalah
"Anak" hanya ketika Ia menjadi manusia di bumi, tetapi adalah Bapa
sebelum menjadikan manusia. Mereka menyebut Bapa sebagai "Roh" dan
Putra sebagai "Daging", tetapi mereka percaya bahwa Yesus dan Bapa
adalah satu Pribadi yang esensial, meskipun berperan sebagai
"manifestasi" atau "mode" yang berbeda. Oneness
Pentakostalisme menolak doktrin Trinitas, melihatnya sebagai pagan dan tidak Alkitabiah,
dan berpegang pada doktrin “Nama Yesus” sehubungan dengan pembaptisan. Mereka
sering disebut sebagai "Modalis" atau "Hanya Yesus" .
Oneness Pentakostalisme dapat dibandingkan dengan Sabellianisme kuno, atau
dapat digambarkan sebagai yang berpegang pada suatu paham Sabellianisme, karena
keduanya masuk dalam kelompok nontrinitarian, dan karena keduanya percaya bahwa
Yesus adalah "Tuhan Yang Mahakuasa dalam Daging", tetapi mereka tidak
sepenuhnya mengidentifikasi satu sama lain.
Tidak dapat dipastikan apakah Sabellius mengajarkan
Modalisme sepenuhnya seperti yang diajarkan hari ini sebagai doktrin oneness,
karena hanya beberapa bagian dari tulisannya yang masih ada dan oleh karena
itu, semua yang kita miliki dari ajarannya datang melalui tulisan para tokoh
Gereja yang menjadi lawannya. Kutipan berikut yang menunjukkan beberapa
karakteristik doktrin yang diketahui dari Sabellian kuno dapat dilihat untuk
dibandingkan dengan doktrin dalam gerakan Oneness modern:
Ø Cyprian menulis - "...bagaimana, ketika Allah Bapa tidak dikenal, bahkan dihujat,
dapatkah mereka yang di antara bidat dikatakan telah dibaptis dalam nama
Kristus, dan dihakimi untuk memperoleh pengampunan dosa?”
Ø Hippolytus (170–236 M) menyebut mereka - "Dan beberapa di antaranya menyetujui
bidat Novatianisme, dan menegaskan bahwa Bapa sendiri adalah Putra..."
Ø Paus Dionysius , Uskup Roma dari tahun
259–269 M menulis - "Sabellius...
menghujat dengan mengatakan bahwa Anak itu sendiri adalah Bapa dan
sebaliknya."
Ø Tertullian menyatakan - "Dia memerintahkan mereka untuk membaptis
orang di dalam Bapa dan Putra dan Roh Kudus, bukan di dalam Allah yang satu pribadi.
Dan memang bukan hanya sekali, tetapi tiga kali, bahwa kita dibenamkan di dalam
tiga pribadi, pada masing-masing penyebutan dari nama tersebut.”
Dalam gerakan modern, theologi modalisme sabellian lebih
dikenal sebagai Oneness. Sementara Oneness Pentakostalisme berusaha untuk
membedakan diri dari ajaran Sabellianisme kuno, teolog modern seperti James R.
White dan Robert Morey melihat tidak ada perbedaan yang signifikan antara
ajaran sesat kuno Sabellianisme dan doktrin Oneness saat ini. Hal ini
didasarkan pada penolakan oleh Pentakosta terhadap Keesaan dalam Trinitas, dan
percaya bahwa tidak ada perbedaan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus (lebih
dikenal Allah yang satu pribadi saja, tetapi memiliki tiga peran).
Sumber :
o https://www.greekorthodox.org.au/?page_id=3356
o https://www.britannica.com/topic/Sabellianism
o https://www.oca.org/orthodoxy/the-orthodox-faith/doctrine-scripture/the-symbol-of-faith/nicene-creed
o https://www.ccel.org/ccel/schaff/creeds2.iv.i.ii.i.html
o https://holy-trinity.org/doctrines-and-practices
o https://holytrinitydallas.org/our-faith/teachings
o https://www.britannica.com/topic/Modalistic-Monarchianism
o Vladimir Lossky, The Mystical Theology of the
Eastern Church, SVS Press, 1997, p.50-59.( ISBN 0-913836-31-1) James Clarke
& Co Ltd, 1991. ( ISBN 0-227-67919-9)
o Cyprian of Carthage, “The Epistles of
Cyprian,” in Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Novatian,
Appendix, ed. Alexander Roberts, James Donaldson, and A. Cleveland Coxe, trans.
Robert Ernest Wallis, vol. 5, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian
Literature Company, 1886), p.383.
o Hippolytus of Rome, “The Refutation of All
Heresies,” in Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Novatian,
Appendix, ed. Alexander Roberts, James Donaldson, and A. Cleveland Coxe, trans.
John Henry MacMahon, vol. 5, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian
Literature Company, 1886), 123–124.
o Dionysius of Rome, “Against the Sabellians,”
in Fathers of the Third and Fourth Centuries: Lactantius, Venantius, Asterius,
Victorinus, Dionysius, Apostolic Teaching and Constitutions, Homily, and
Liturgies, ed. Alexander Roberts, James Donaldson, and A. Cleveland Coxe, vol.
7, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886),
p.365.
o Samuel Macauley Jackson, ed., The New
Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge: Embracing Biblical,
Historical, Doctrinal, and Practical Theology and Biblical, Theological, and
Ecclesiastical Biography from the Earliest Times to the Present Day (New York;
London: Funk & Wagnalls, 1908–1914), p.16.
o Robert A. Morey, The Trinity: Evidence and
Issues (Iowa Falls, IA: World Pub., 1996), 502–507.
o A History of Christianity: Volume I:
Beginnings to 1500 by Kenneth S. Latourette, Revised Edition p.144-146,
published by HarperCollins, 1975: ISBN 0-06-064952-6, ISBN 978-0-06-064952-4
[1]
0 komentar:
Posting Komentar